Minggu, 06 November 2016

Mengingat dan Mendoakan Umat Beriman Yang Telah Mendahului Kita



Mengingat dan Mendoakan 

Gereja itu terdiri dari: Gereja yang berjuang, yakni kita yang masih di dunia; Gereja yang menderita, yakni mereka yang masih di api penyucian; dan Gereja yang jaya, yaitu mereka yang sudah menikmati kemuliaan surgawi. Semua adalah anggota dari Gereja yang satu. Karena itu, kita tetap memiliki hubungan yang erat dengan mereka yang sudah meninggal. Mereka itu tetap menjadi anggota Gereja, dan disebut sebagai "Gereja yang menderita", karena sedang di api penyucian, yakni dimurnikan dalam cinta untuk bisa masuk dalam Gereja yang jaya (mulia). Mereka membutuhkan doa-doa kita yang masih hidup. Karena itu, misalnya dalam bahasa Jawa makam disebut sebagai "pesarean", artinya tempat orang tidur. Mereka yang meninggal, sebenarnya sedang "tidur", sedang menantikan untuk dibangkitkan dalam kehidupan abadi. 

Bagi mereka, pertama-tama kita mohon pengampunan dari Tuhan. Kita sadar bahwa manusia tidak luput dari kekurangan. Karena itu, jika (masih) ada kesalahan yang mereka lakukan selama hidup, kita mohoh rahmat pengampunan bagi mereka. Namun, dengan bagus Katekismus menulis demikian, "Doa kita untuk orang-orang yang sudah meninggal tidak hanya membantu mereka sendiri: kalau mereka sudah dibantu, doa mereka pun akan berdaya guna bagi mereka" (KGK, 958). 

Jadi, doa-doa kita tidak hanya berguna bagi keselamatan abadi mereka, tetapi juga berguna bagi kita sendiri. Sebab, setelah didoakan, mereka pun akan berdoa bagi kita, (Gereja) yang masih berjuang di dunia ini. Di sini pula kesatuan yang erat dan tak terputuskan antara kita dan mereka yang sudah meninggal. 

Mengingat, berterima kasih dan meneladan 

Beberapa tahun lalu, bersama-sama dengan para frater novis Karmel kami berjalan kaki dari Biara Karmel Batu ke Malang. Tujuan kami adalah mengunjungi makam Rm. Singgih yang terletak di kompleks makam Biara para Suster Ursulin, Celaket, Kota Malang. Perjalanan kami lanjutkan ke makam Kristen Sukun, di mana dimakamkan para romo dan bruder Karmel dan banyak imam, biarawan-biarawati lain dan umat. Sorenya kami melanjutkan perjalanan, dan menginap di Pastoran Kepanjen (Malang Selatan). Paginya kami berjalan kaki ke Lodalem, sebuah paroki di Malang Selatan, mengunjungi makam Rm. Lohuis, seorang Romo Karmel yang meninggal di tengah-tengah pelayanannya yang penuh semangat bagi umat di pedesaan. Ziarah ke makam-makam itu membawa kesan tersendiri bagi para frater muda itu. Lebih berkesan lagi, karena ziarah kami lakukan dengan jalan kaki lebih 60 km. Berziarah artinya berkunjung. Kita mengunjungi para pendahulu yang sudah meninggal, sebagai tanda cinta dan mengingat mereka. 

Tak jarang terjadi, ketika orang sudah meninggal, kita melupakan mereka. Karena itu, peringatan arwah sebetulnya bukan hanya kesempatan untuk mendoakan mereka, tetapi juga untuk mengingat hidup mereka, untuk terima kasih atas kebaikan yang mereka lakukan, dan juga belajar dari teladan baik yang mereka tinggalkan. Tidak boleh kita lupakan, kita banyak berhutang pada mereka yang telah mendahului kita. 

Menarik untuk direnungkan, mengapa tempat istriahat untuk mereka yang sudah meninggal disebut "makam". Kata ini berasal dari bahasa Arab "maqam" (Ibrani: maqom) artinya "tempat" atau "kedudukan". Mereka yang sudah meninggal adalah mereka yang mendapatkan "tempat" atau "kedudukan" baik di dunia maupun di alam baka. Mereka yang sudah meninggal juga perlu mempunyai "tempat tertentu" dalam hidup kita. Sebab itu, dalam bahasa Jawa, makam disebut "pundhen", dari kata "pepundhen", yaitu "yang dipundhi/pundhi", artinya yang dijaga, dihormati, diluhurkan, dan sebagainya. 

Mereka yang sudah meninggal perlu diingat, dihormati dan diteladani hal yang baik yang ditinggalkannya oleh kita. 

Oleh Ign. Budiono, O.Carm  / Cafe Rohani 2014

0 komentar:

Posting Komentar