This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 14 Februari 2015

CERMIN ANAK


Suatu ketika di sebuah sekolah, diadaka pementasan drama. Pentas drama yang meriah, dengan pemain yang semuanya siswa-siswi dii sana. Setiapanak mendapatkan peran, dan memakai kostum sesuai dengan tokoh yang mereka perankan. Semanya tampak serius, sebab Pak Guru akan memberikan hadiah kepada anak yang tampil terbaik dalam pentas.
Di depan panggung, semua orangtua murid ikut hadir dan menyemarakan acara itu.
Lakon drama berjalan dengan sempurna. Semua anak tampil dengan maksimal. Ada yang berperan ssebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga nelayan, dengan jala yang di sampirkan di bahu. Di sudut sana, tampak pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab dia kebagian peran sebagai pak tua yang pemarah, sementara di sudut lain, terlihat anak dengan wajah sedih, layaknya pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari para orangtua dan guru kerap terdengar, di sisi kiri dan kanan panggung.
Tibanya kini akhir dari pementasan tersebut. Dan itu berarti, sudah saatnya Pak Guru mengumumkan siapa yang berhak mendapatkan hadiah. Setiap anak tampak berdebar hati, berharap mereka terpilih menjadi pemain drama yang terbaik. Dalam komat-kamit mereka berdo’a, supaya Pak Guru akan menyebut nama mereka, dan mengundang ke atas panggung unntuk menerima hadiah. Para orangtua pun ikut berdo’a, membayangkan anak mereka menjadi yan terbaik.

Pak Guru telah menaiki panggung, dan tak lama kemudian ia menyebut sebuah nama. Ahha… ternyata, anak yang menjadu pak tua pemarah-lah yang menjadi juara. Dengan wajah berbinar, sang anak bersorak gembira. “Aku menang…”, begitu ucapnya. Ia pun bergegas menuju panggung, diiringi kedua orangtuanya yang tampak bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orangtua menatap sekeliling , menatap seluruh hadirin. Mereka bangga.
Pak guru memberikan hadiahnya, dan bertanya kepada anak tersebut, “Nak, peranmu sebagai seorang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya ya, sehingga kamu bisa tampil sebaik ini?”. Sang anak menjawab, “Terima kasih atas hadiahnya Pak. Dan sebenarnya saya harus berterima kasih kepada ayah saya di rumah. Karena, dari Ayah lah saya belajar berteriak dan menjadi pemarah. Kepada Ayahlah saya meniru perilaku ini. Ayah berteriak kepada saya, maka, bukan hal yang sulit untuk menjadi pemajar seperti Ayah.”
Begitupun kedua orangtua sang anak di atas panggung, mereka tampak tertunduk. Jika sebelumnya mereka merasa bangga, kini keadaanya berubah. Seakan, mereka berdiri sebagai terdakwa, di muka pengadilan. Mereka belajar sesuatu hari itu. Ada yang perlu diluruskan dalam perilaku mereka.



sumber: motivasi hidup

Rabu Abu













 
  
Rabu Abu adalah permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa pertobatan, pemeriksaan batin dan berpantang guna mempersiapkan diri untuk Kebangkitan Kristus dan Penebusan dosa kita.

Mengapa pada Hari Rabu Abu kita menerima abu di kening kita? Sejak lama, bahkan berabad-abad sebelum Kristus, abu telah menjadi tanda tobat. Misalnya, dalam Kitab Yunus dan Kitab Ester. Ketika Raja Niniwe mendengar nubuat Yunus bahwa Niniwe akan ditunggangbalikkan, maka turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu. (Yunus 3:6).  Dan ketika Ester menerima kabar dari Mordekhai, anak dari saudara ayahnya, bahwa ia harus menghadap raja untuk menyelamatkan bangsanya, Ester menaburi kepalanya dengan abu (Ester 4C:13). Bapa Pius Parsch, dalam bukunya "The Church's Year of Grace" menyatakan bahwa "Rabu Abu Pertama" terjadi di Taman Eden setelah Adam dan Hawa berbuat dosa. Tuhan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu. Oleh karena itu, imam atau diakon membubuhkan abu pada dahi kita sambil berkata: "Ingatlah, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu" atau "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil".
Abu yang digunakan pada Hari Rabu Abu berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Setelah Pembacaan Injil dan Homili abu diberkati. Abu yang telah diberkati oleh gereja menjadi benda sakramentali.

Dalam upacara kuno, orang-orang Kristen yang melakukan dosa berat diwajibkan untuk menyatakan tobat mereka di hadapan umum. Pada Hari Rabu Abu, Uskup memberkati kain kabung yang harus mereka kenakan selama empat puluh hari serta menaburi mereka dengan abu. Kemudian sementara umat mendaraskan Tujuh Mazmur Tobat, orang-orang yang berdosa berat itu diusir dari gereja, sama seperti Adam yang diusir dari Taman Eden karena ketidaktaatannya. Mereka tidak diperkenankan masuk gereja sampai Hari Kamis Putih setelah mereka memperoleh rekonsiliasi dengan bertobat sungguh-sungguh selama empat puluh hari dan menerima Sakramen Pengakuan Dosa. Sesudah itu semua umat, baik umum maupun mereka yang baru saja memperoleh rekonsiliasi, bersama-sama mengikuti Misa untuk menerima abu.

Sekarang semua umat menerima abu pada Hari Rabu Abu. Yaitu sebagai tanda untuk mengingatkan kita untuk bertobat, tanda akan ketidakabadian dunia, dan tanda bahwa satu-satunya Keselamatan ialah dari Tuhan Allah kita.







Sumber : Catholic Online Lenten Pages; www.catholic.org/lent/lent.html &
              Ask A Franciscan; St. Anthony Messenger Magazine; www.americancatholic.org