This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Sabtu, 31 Januari 2015
Kamis, 29 Januari 2015
KISAH BELALANG
Seekor belalang telah lama terkurung dalam sebuah kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya tersebut.
Dengan gembira ia melompat-lompat menikmati kebebasannya. Di perjalanan dia bertemu dengan seekor belalang lain. Namun dia keheranan mengapa belalang itu bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.
Dengan penasaran ia menghampiri belalang itu, dan bertanya, "Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh, padahal kita tidak jauh berbeda dari usia ataupun bentuk tubuh ?".
Belalang itu pun menjawabnya dengan pertanyaan, "Dimanakah kau selama ini tinggal? Karena semua belalang yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan". Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.
Belalang itu pun menjawabnya dengan pertanyaan, "Dimanakah kau selama ini tinggal? Karena semua belalang yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan". Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.
Renungan :
Kadang-kadang kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah juga mengalami hal yang sama dengan belalang.
Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan yang beruntun, perkataan teman atau pendapat tetangga, seolah membuat kita terkurung dalam kotak semu yang membatasi semua kelebihan kita.
Lebih sering kita mempercayai mentah-mentah apapun yang mereka voniskan kepada kita tanpa pernah berpikir benarkah Anda separah itu?
Bahkan lebih buruk lagi, kita lebih memilih mempercayai mereka daripada memperca yai diri sendiri.
Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan yang beruntun, perkataan teman atau pendapat tetangga, seolah membuat kita terkurung dalam kotak semu yang membatasi semua kelebihan kita.
Lebih sering kita mempercayai mentah-mentah apapun yang mereka voniskan kepada kita tanpa pernah berpikir benarkah Anda separah itu?
Bahkan lebih buruk lagi, kita lebih memilih mempercayai mereka daripada memperca yai diri sendiri.
Tidakkah Anda pernah mempertanyakan kepada nurani bahwa Anda bisa "melompat lebih tinggi dan lebih jauh" kalau Anda mau menyingkirkan "kotak" itu? Tidakkah Anda ingin membebaskan diri agar Anda bisa mencapai sesuatu yang selama ini Anda anggap diluar batas kemampuan Anda?
Beruntung sebagai manusia kita dibekali Tuhan kemampuan untuk berjuang, tidak hanya menyerah begitu saja pada apa yang kita alami. Karena itu teman, teruslah berusaha mencapai apapun yang Anda ingin capai. Sakit memang, lelah memang, tapi bila Anda sudah sampai di puncak, semua pengorbanan itu pasti akan terbayar.
Kehidupan Anda akan lebih baik kalau hidup dengan cara hidup pilihan Anda. Bukan cara hidup seperti yang mereka pilihkan untuk Anda.
Orang-orang yang melontarkan kritik bagi kita pada hakikatnya adalah pengawal jiwa kita, yang bekerja tanpa bayaran.
By : Romo Laurensius Rony
(Sumber : Corrie Ten Boom)
Kamis, 22 Januari 2015
BERANI HIDUP
BERANI HIDUP
{Mari kita menertawai kekhawatiran dan ketakutan}
{Mari kita menertawai kekhawatiran dan ketakutan}
Banyak lagu di Indonesia yang bertemakan kesedihan dan kenestapaan…
“Betapa kasihannya diriku karena aku orang miskin dan tidak punya. Ayah juga tidak punya, Ibunda juga tiada. Istri juga belum punya, apalagi anak. Rumah juga hanya terbuat dari bilik saja dan bepergian ke mana-mana naik bus kota yang sumpek dan berbau keringat. Seringkali dihina pula. Ah, betapa aku orang yang sungguh perlu dikasihani. Aku segan hidup, tapi belum mau mati.”
“Betapa kasihannya diriku karena aku orang miskin dan tidak punya. Ayah juga tidak punya, Ibunda juga tiada. Istri juga belum punya, apalagi anak. Rumah juga hanya terbuat dari bilik saja dan bepergian ke mana-mana naik bus kota yang sumpek dan berbau keringat. Seringkali dihina pula. Ah, betapa aku orang yang sungguh perlu dikasihani. Aku segan hidup, tapi belum mau mati.”
Apa yang tersirat di dalam lirik seperti itu? Kurangnya keberanian untuk hidup. Kurangnya rasa syukur yang dalam akan makna hidup yang sebenarnya. Sudah diberi hidup untuk hari ini, masih juga mempermasalahkan kemiskinan dan tidak punya ini dan itu. Padahal, cukup dengan modal “hidup” saja, masalah kemiskinan dan tidak punya pasangan hidup bisa dicari sendiri pemecahannya. Pendapat seperti ini banyak membuat hati saya tidak enak, karena seakan-akan tidak bersyukur sama sekali akan harta tidak ternilai, yaitu kehidupan yang diberikan kepada kita karena kita begitu istimewa di mataNya.
Kekhawatiran luar biasa membebani setiap langkah yang diambil di dalam hidup. Ini sangat tidak baik. Kegalauan hati juga memberi warna kelabu, apalagi ketidakberanian untuk mengubah diri. Dengan mempercayai bahwa diri kita lemah dan tidak berdaya, maka alam bawah sadar kita sungguh percaya bahwa kita itu lemah dan tidak berdaya. Jadilah di dalam benak hanya ada satu yang dicari-cari: rasa belas kasihan bagi diri kita, yang datang baik dari luar maupun dari dalam diri.
Mungkin Anda sekarang berpikir, “Ah, Ibu Jennie ini bisa saja, karena dia toh tidak pernah merasakan naik bus kota. Dia kan ke mana-mana naik mobil mewah dan makan di hotel berbintang lima.” Eit, nanti dulu. Ketika saya kuliah di Depok, saya memang mempunyai pilihan untuk diantar jemput oleh sopir pribadi maupun naik bus kota karena orangtua mampu membiayai, walaupun mungkin dengan sangat pas-pasan.
Mungkin Anda sekarang berpikir, “Ah, Ibu Jennie ini bisa saja, karena dia toh tidak pernah merasakan naik bus kota. Dia kan ke mana-mana naik mobil mewah dan makan di hotel berbintang lima.” Eit, nanti dulu. Ketika saya kuliah di Depok, saya memang mempunyai pilihan untuk diantar jemput oleh sopir pribadi maupun naik bus kota karena orangtua mampu membiayai, walaupun mungkin dengan sangat pas-pasan.
Yang mana pilihan saya, menurut Anda? Naik bus kota setiap hari. Aneh bukan?
Waktu itu belum ada bus Patas ber-AC, sehingga mau tidak mau saya naik bus dari Sarinah ke Pancoran, terus dari Pancoran ke Pasar Minggu, dan dari Pasar Minggu baru ada `mobil unyil’ ke Depok. Turun di Margonda yang masih belum sepenuhnya beraspal saat itu, saya jalan kaki di tanah yang kadang-kadang becek di kala musim hujan dan selalu berlumpur tanah merah sepanjang tahun. Repot sekali karena berarti celana jins dan sepatu kets saya mesti dicuci begitu tiba di rumah. Kalau tidak ya tanah merahnya akan menempel permanen nodanya.
Waktu itu belum ada bus Patas ber-AC, sehingga mau tidak mau saya naik bus dari Sarinah ke Pancoran, terus dari Pancoran ke Pasar Minggu, dan dari Pasar Minggu baru ada `mobil unyil’ ke Depok. Turun di Margonda yang masih belum sepenuhnya beraspal saat itu, saya jalan kaki di tanah yang kadang-kadang becek di kala musim hujan dan selalu berlumpur tanah merah sepanjang tahun. Repot sekali karena berarti celana jins dan sepatu kets saya mesti dicuci begitu tiba di rumah. Kalau tidak ya tanah merahnya akan menempel permanen nodanya.
Selama perjalanan di dalam bus, tidak jarang saya mengalami hal-hal yang memalukan dan diolok-olok karena tinggi tubuh saya yang 172 sentimeter, sangat jangkung untuk ukuran Indonesia. Belum lagi wajah saya yang sangat “amoy” itu. Hal-hal rasis dan olok-olok yang tidak-tidak karena fisik saya sudah menjadi makanan sehari-hari. Paling tidak pasti ada sinar mata penuh rasa ingin tahu yang saya terima setiap hari dari sesama penumpang. Untunglah karena saya langganan setiap hari, para supir dan kenek bis sudah kenal dengan si “amoy jangkung” ini. Hal-hal begini sudah membuat saya “kebal” juga akhirnya.
Saat itu pernah terbesit di benak saya, betapa sesungguhnya saya sangat berbeda dari orang kebanyakan. Jika dituliskan lagi mendayu-dayu ala dangdut maupun pop sendu Indonesia. Mungkin ada lirik begini, “Betapa malangnya nasibku, ayah tidak punya, ibunda hidup susah kerja sendirian. Belum lagi tampangku Cina dan tinggiku seringkali mentok di dalam Metro Mini. Aku hidup susah, semua orang melihatku aneh dan berbeda dari orang lain.” Lucu dan “kasihan banget” bukan?
Eh, anehnya, tidak pernah satu kalipun saya merasa demikian. Malah kalau terdengar lagu-lagu mendayu, hati ini rasanya geli sekali. Tidak jarang saya tertawa terbahak-bahak mendengar hal-hal yang “mengasihani diri sendiri.” Mengapa? Karena di dalam benak saya, setiap hari haruslah menjadi hari yang lebih baik daripada kemarin. Dan ini tidak bisa di dapat dengan memanjakan diri bahwa “aku ini orang yang perlu dikasihani.”
Seperti billionaire philanthropist terkenal James Stowers pendiri American Century Investments pernah berkata, “If you don’t think tomorrow is going to be better than today, why get up? You’ve got to believe each new day is going to be better, and you have to be determined to make it so. If you are determined, then certainly… the best is yet to be.” Jika Anda tidak yakin bahwa hari esok akan lebih baik, mengapa bangun pagi? Anda harus percaya bahwa setiap hari baru akan menjadi lebih baik dari kemarin dan Anda mesti usahakan untuk menjadikannya demikian. Keyakinan Anda akan menjadikannya yang terbaik, jauh lebih baik.
Pemerintah Indonesia pernah memberikan label “desa miskin” untuk desa-desa yang mempunyai income level di bawah garis kemiskinan. Saya sendiri kalau diizinkan untuk berkomentar sedikit, tapi mudah-mudahan tidak dianggap asbun ya.
Bukankah sebaiknya ditulis “desa yang sedang membangun dengan semangat besar menuju masa depan yang lebih cerah lagi.” Untuk singkatnya, ya “desa membangun” saja. Bagaimana efeknya ketika dibaca? Memberi semangat keberanian untuk maju, bukan? Mudah-mudahan saja label “desa miskin” seperti ini sudah ditiadakan saat ini. Saya doakan. Namun, siapalah saya ini memberi masukan seperti ini.
Bukankah sebaiknya ditulis “desa yang sedang membangun dengan semangat besar menuju masa depan yang lebih cerah lagi.” Untuk singkatnya, ya “desa membangun” saja. Bagaimana efeknya ketika dibaca? Memberi semangat keberanian untuk maju, bukan? Mudah-mudahan saja label “desa miskin” seperti ini sudah ditiadakan saat ini. Saya doakan. Namun, siapalah saya ini memberi masukan seperti ini.
Nah, keberanian untuk hidup berarti juga tidak mengasihani diri sendiri sama sekali. Berani hidup berarti berani menanggung kesulitan hidup karena mempunyai kepercayaan diri yang besar bahwa semuanya pasti bisa diatasi. Setiap hari adalah hari baru yang pasti lebih baik daripada hari kemarin. Kalau begitu, apa lagi yang perlu dikhawatirkan?
Mari kita menertawai kekhawatiran dan ketakutan.
Sumber: Berani Hidup oleh Jennie S. Bev.
Mari kita menertawai kekhawatiran dan ketakutan.
Sumber: Berani Hidup oleh Jennie S. Bev.
“Stop worrying, start living.”
~ Anonymous
~ Anonymous
“One isn’t necessarily born with courage, but one is born with potential. Without courage, we cannot practice any other virtue with consistency. We can’t be kind, true, merciful, generous, or honest.”
~ Maya Angelou
~ Maya Angelou
“Be a warrior, not a worrier.”
~ Jennie S. Bev
Kamis, 15 Januari 2015
BERI ARTI HIDUPMU!!!
1/15/2015 09:44:00 PM
No comments
Jan Hasoman Sidauruk
Menjelang hari raya, seorang ayah membeli beberapa gulung kertas kado. Putrinya yang masih kecil, masih balita, meminta satu gulung.
“Untuk apa ?”, tanya sang ayah.
“Untuk kado, mau kasih hadiah.”, jawab si kecil.
“Jangan dibuang-buang ya.”, pesan si ayah, sambil memberikan satu gulungan kecil.
“Untuk apa ?”, tanya sang ayah.
“Untuk kado, mau kasih hadiah.”, jawab si kecil.
“Jangan dibuang-buang ya.”, pesan si ayah, sambil memberikan satu gulungan kecil.
Persis pada hari raya, pagi-pagi si cilik sudah bangun dan membangunkan
ayahnya,
“Pa, Pa - ada hadiah untuk Papa.”
ayahnya,
“Pa, Pa - ada hadiah untuk Papa.”
Sang ayah yang masih malas-malasan, matanya pun belum melek, menjawab, “Sudahlah nanti saja.”
Tetapi si kecil pantang menyerah, “Pa, Pa, bangun Pa, sudah siang.”
“Ah, kamu gimana sih, pagi-pagi sudah bangunin Papa.”
Tetapi si kecil pantang menyerah, “Pa, Pa, bangun Pa, sudah siang.”
“Ah, kamu gimana sih, pagi-pagi sudah bangunin Papa.”
Ia mengenali kertas kado yang pernah ia berikan kepada anaknya.
“Hadiah apa nih?”
“Hadiah hari raya untuk Papa. Buka dong Pa, buka sekarang.”
“Hadiah apa nih?”
“Hadiah hari raya untuk Papa. Buka dong Pa, buka sekarang.”
KEHIDUPAN SPERTI BAWANG BOMBAY
1/15/2015 09:41:00 PM
No comments
Sebuah kado bagi yang telah menikah:
Semoga mensyukuri kehidupan pernikahan
————————————————–
Menjelang istirahat suatu kursus pelatihan, sang pengajar mengajak para peserta untuk melakukan suatu permainan. ‘Siapakah orang yang paling penting dalam hidup Anda?’
Pengajar meminta bantuan seorang peserta maju ke depan kelas. ” Silakan tulis 20 nama yang paling dekat dengan kehidupan Anda saat ini”
Peserta perempuan itu pun menuliskan 20 nama di papan tulis. Ada nama tetangga, teman sekantor, saudara, orang-orang terkasih dan lainnya.
Kemudian pengajar itu menyilakan memilih, dengan mencoret satu nama yang dianggap tidak penting. Lalu siswi itu mencoret satu nama, tetangganya.
Selanjutnya pengajar itu menyilakan lagi siswinya mencoret satu nama yang tersisa, dan siswi itu pun melakukannya, sekarang ia mencoret nama teman sekantornya. Begitu seterusnya.
Selanjutnya pengajar itu menyilakan lagi siswinya mencoret satu nama yang tersisa, dan siswi itu pun melakukannya, sekarang ia mencoret nama teman sekantornya. Begitu seterusnya.
Sampai pada akhirnya di papan tulis hanya tersisa 3 nama. Nama orang tuanya, nama suami serta nama anaknya.
Langganan:
Postingan (Atom)